Road to IDF 2019 Room E: Perempuan, Lepaslah dari Sticky Floor dan Melesatlah

July 04, 2019

Suasana FGD di acara diskusi Room E: The Future is Us: Perempuan Juga Punya Peluang.

“Saya ingin membuat dan mengembangkan yayasan untuk anak dengan gangguan autis,” kata Syeni dengan air matanya menggenang. “Karena saya ingin anak-anak autis seperti adik saya nantinya berdaya, saya sendiri belum tahu adik saya bisa apa,” lanjutnya. Kali ini air mata itu telah jatuh.

Ia adalah peserta focus group discussion (FGD) Road to IDF 2019 bertajuk “Room E: The Future is Us: Perempuan Juga Punya Peluang” di Jakarta pada 22 Juni 2019. “E” yang dimaksud dalam “Room E” bermakna “Elevate, Equip, Evolve, Empower” (mengangkat, melengkapi, mengembangkan, memberdayakan), bertujuan untuk mendorong para perempuan membangun karier menembus batas. Diskusi ini sejalan dengan tema IDF 2019 “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.

Syeni menyampaikan kegelisahannya tentang nasib adiknya, juga anak-anak dengan gangguan autis lainnya. Syeni bersama beberapa peserta lain ingin mendengarkan lebih jauh pengalaman berkarier Jessica Arawinda, Project Officer 1000 Days Fund.

Proyek Seribu Hari, bertujuan untuk membantu pencegahan anak-anak stunting di NTT. Jessica yang biasa disapa Sisi ini mewakili perempuan yang sukses banting stir dari karier komersial ke pekerjaan sosial, sebuah pekerjaan yang juga ingin dirintis Syeni lewat Yayasan untuk anak Autis yang ingin didirikannya.

“Yang penting jalankan, dan selalu buat kemajuan meski itu hanya satu persen, jangan hanya ada di angan-angan, misalnya bisa dimulai dengan menghubungi komunitas peduli autis, atau mencari crowd funding,” saran Sisi kepada Syeni.

Setelah sesi pembicara, acara Room:E membentuk sesi berbagi dalam kelompok (FGD) dengan tim Rimma.co, pembicara, dan peserta untuk menggali lebih dalam tentang isu yang diangkat pembicara. FGD kelompok Sisi sore itu menjadi ajang para peserta dengan berbagai latar yang beragam berbagai persoalan, kegelisahan, pengalaman, disampaikan untuk mendapat masukan. Misalnya, ada peserta yang menceritakan tentang perjuangannya menjadi bidan dan bertugas di pulau terpencil, lalu mendapat tentangan dari warga yang masih percaya dukun. Untuk cerita ini, Sisi meyarankan agar tak gampang menyerah. Bidan-bidan di wilayah terpencil berperan sangat penting,termasuk mengedukasi masyarakat untuk pencegahan stunting.  

Di kelompok FGD lain, ada pembicara Amanda Farliany, seorang model tuli pertama majalah Aneka Yess dan YouTuber dengan lebih dari 30.000 pengikut, yang membahas tantangan kerja penyandang disabilitas. Ada juga kelompok FGD pembicara  Hana Alfikih, seniman visual dan aktivis kesehatan jiwa yang membahas dukungan untuk pekerja dengan disabilitas mental.

 

Lantai lengket dan menembus batas

Dalam pembukaannya Staff Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional bidang Ekonomi dan Pembiayaan Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, menegaskan perempuan sebenarnya cenderung memiliki kemampuan matematika dan bahasa yang lebih tinggi, lantaran lebih tekun. Dari data INAP 2016, perempuan dari Aceh hingga Papua Barat unggul dalam kemampuan membaca di SD kelas 4 dibanding siswa laki-laki.

“Kelebihan perempuan lainnya, multitasking, lebih teliti, dan lebih care terhadap lingkungan,” tambah Amalia saat membuka diskusi.

Meski demikian, data SAKERNAS Agustus 2018 menyebut angka partisipasi laki-laki bekerja mencapai 83 persen, sedangkan angka partisipasi perempuan di 51 persen. Diolah dari data SAKERNAS Februari 2017, Amalia menjelaskan perempuan cenderung bekerja di sektor yang ramah terhadap perempuan dengan jenis pekerjaan didominasi sektor jasa, terutama jasa sosial, kesehatan, pendidikan. Sementara di sektor pertambangan, perempuan hanya mengisi 5 persen dan sektor transportasi kurang dari 5 persen.

Pada posisi strategis di BUMN, ada 444 pejabat Direksi laki-laki, sedangkan pejabat perempuan hanya 40 orang.

“Artinya ada yang membatasi perempuan untuk masuk ke dunia kerja dan membangun karier. Misalnya ada mindset baik yang dibentuk keluarga, budaya, lingkungan sosial maupun kadang-kadang perempuan sendiri eh pekerjaan ini nggak cocok untuk perempuan, cocoknya buat laki-laki, padahal perempuan mampu,” tambahnya.

Menurut Amalia, dalam riset terbaru sebagaimana ditulis Rebecca Shambaugh dalam buku It's Not a Glass Ceiling, It's a Sticky Floor: Free Yourself From the Hidden Behaviors Sabotaging Your Career Success, faktor penting penghambat perempuan dalam karier adalah sticky floor (lantai lengket). Untuk keluar dari kungkungan sticky floor, satu-satunya jalan kata Amalia harus melepaskan kaki dari perekatnya.

“Yaitu dengan mengubah mindset, dan yakin kita pasti bisa,” cetus Amalia yang akrab disapa Winny.  

Selain itu perempuan harus kreatif, terlebih karena perempuan dalam berkarier kerap sekaligus menjalankan peran ganda, yaitu peran domestik keluarga. Semua itu, kata Amalia akan membuat perempuan berani membuat keputusan penting.

Cerita bagaimana perempuan bisa menembus batas, melepaskankan diri dari sticky floor dalam berkarier, antara lain dibuktikan oleh Amanda Farliany. Tuli sejak lahir dan kesulitan berkomunikasi membuat Amanda dirisak dan ditertawakan saat menyatakan bercita-cita menjadi seorang model.

“Saya menulis dalam buku tahunan di perpisahan sekolah SMP, ingin menjadi model,” katanya.

Dari 14 ribu pelamar saat itu, Amanda bisa membuat keinginannya berlenggak-lenggok di atas catwalk dan berpose di depan kamera terwujud. Ia masuk 40 finalis model majalah Aneka Yess bersama model seangkatannya, model Luna Maya, Masayu Anastasia, dan lain-lain. Ada proses dan kerja keras yang cukup panjang untuk itu, terutama untuk meyakinkan dia mampu.

“Saya juga pernah membuat video klip, model iklan, saya pernah jadi aktor utama di film Malaysia, dan di situ saya menunjukkan bahasa isyarat,” kata Amanda yang mengaku pernah tiga kali ditolak majalah karena ketuliannya. 

Menunjukkan dan menggunakan bahasa isyarat artinya menyatakan kepada khalayak umum: “Saya Tuli”. 

Kini, Amanda menjadi YouTuber dengan 30.000 pengikut. Amanda menyebarkan pesan “Kita Semua Setara”.  Ia membagikan tips bagaimana berkomunikasi dengan keluarga dengan bahasa isyarat.

“Saya menikah dengan pasangan tuli dan punya tiga anak dengar,” kata Amanda.

Amanda membuat konten-konten yang bisa membantu penyandang tuli berkomunikasi sehari-hari dengan orang-orang yang mendengar dan sebaliknya.

Perjuangan keras juga dilalui Hana Alfikih, penyandang disabilitas mental bipolar.

“Kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang aku alami, membentuk mental aku hingga detik ini,” kata Hana membuka cerita.

Konflik demi konflik baik dengan diri sendiri maupun keluarga dialami Hana sejak SMP.

Hana tak hanya berjuang menerima gangguan bipolar yang membuatnya kesulitan mengendalikan diri dari kecemasan, emosi, histeris, melukai diri, hingga sempat beberapa kali berniat bunuh diri. Pada saat itu pula Hana juga harus berupaya keras menghadapi stigma orang-orang di sekitarnya, juga keluarga dengan sikap konservatif dan tidak paham terhadap kondisinya.

“Sampai aku mendapatkan treatment yang salah yang memperparah kondisi aku saat itu. Karena memang pengetahuan dan informasi tentang kesehatan jiwa belum banyak,” ungkapnya.

Seni visual menjadi media dan jalan bagi Hana meraih penerimaan itu. Lukisan Hana sempat menembus pameran internasional di Inggris. Bahkan, ia juga menjalankan proyek bersama seniman negara itu. Karya Hana yang kaya akan permainan warna juga digunakan oleh brand besar seperti produk fashion, seperti Converse dan minuman Good Day. 

“Awalnya, melukis adalah upaya menyalurkan emosi dan meredam bipolarku, tapi sekarang menjadi profesi. Dulu, orang melihatku karena disabilitas mentalku, sekarang orang melihat karena karyaku,” papar Hana. 

Kini, Hana menerima dukungan besar dari keluarganya dalam menekuni seni dan berkiprah dalam kampanye mendukung penyandang disabilitas mental.

“Hubungan aku dengan keluargaku sekarang sangat harmonis, melebih dari apa yang pernah aku bayangkan,” katanya. Lewat lukisan dan berbagai aktivitas lain kini Hana mengabdikan dirinya berkampanye mencegah pemasungan penyandang disabilitas mental. Hana menegaskan, tidak ada yang salah dengan penyandang disabilitas mental, yang salah adalah orang-orang yang menstigma.

“Bagi penyandang disabilitas mental yang penting merasa diterima, jangan men-judge, terus jangan ini itu. Orang dengan gangguan jiwa itu ingin didengarkan, dipeluk,” ujar Hana

 

Diskusi Road to IDF 2019 bertajuk “Room E: The Future is Us: Perempuan Juga Punya Peluang” merupakan upaya mengajak komunitas pekerja muda, terutama perempuan, untuk membahas peluang kerja inklusif dengan inspirasi potensi jalur karir unik untuk perempuan dan penyandang disabilitas. Diskusi ini juga mengantar  para perempuan dengan disabilitas untuk mewujudkan tema IDF 2019, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.

 


--> -->