Pembicara Terpilih IDF 2019 Sub-Tema 2: Mengulas Sekolah Ala YouTube hingga Wajib Belajar Setahun

June 25, 2019

Siswa SMA Dian Harapan Makassar kunjungan belajar di Tribunnews Makassar.

Salah satu video viral di internet ketika seorang anak sekolah menjawab Presiden Jokowi bahwa cita-citanya adalah menjadi YouTuber. Video itu disambut gelak tawa. Tapi, bagaimana jika Youtube dimasukkan dalam kurikulum sekolah?

Endra Sulistyono adalah analis di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan yang membangun usulan penggunaan platform video online ini untuk edukasi di SMK. Endra akan memaparkan makalahnya berjudul “Pemanfaatan Youtube bagi Lulusan SMK di Indonesia" pada gelaran Indonesia Development Forum (IDF) 2019 yang berlangsung 22-23 Juli di Balai Sidang, Jakarta Convention Center.

 “Apa yang diajarkan di SMK sangat teknis dan aplikatif bagi masyarakat luas, misalnya cara memperbaiki mesin kendaraan bermotor yang rusak, atau sajian menu ekonomis dalam pelajaran tata boga,” tulisnya.

Dengan demikian, diharapkan pelajar SMK dapat terus meningkatkan kompetensi teknisnya dan berpeluang meraih untung sebagai seorang YouTuber konten edukatif bagi masyarakat.

Endra adalah satu dari lima pembicara terpilih yang akan memaparkan penelitian dalam sesi subtema Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (TVET) untuk Pekerjaan Masa Depan. Subtema tersebut merupakan bagian dari tema besar tahun ini, Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif. Pada subtema kedua ini, lima pemenang telah terpilih dari 23 proposal Call for Submission yang masuk.

Empat pembicara terpilih lainnya adalah Dyah Pritadrajati, konsultan di Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI); Kalvin Sandabunga, seorang Koordinator Kurikulum dan Pelatih Guru; dan Ahmad Lutfi Karim, mahasiswa jurusan teknologi pangan dan hasil pertanian UGM. Selanjutnya ada Marlon Arthur Huwae CEO Indokonor Foundation, sebuah LSM di Papua.

Dyah Pritadrajati akan membawakan paparan hasil penelitian yang diberi judul “From School to Work: Does Vocational Education Improve Labour Market Outcomes?” Lewat penelitian tersebut Prita menanggapi kebijakan pemerintah tentang program perluasan pendidikan kejuruan di Indonesia.

 

Prita mencoba meninjau efek dari jenis sekolah menengah terhadap peluang siswa untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja, berada dalam pekerjaan, bekerja dalam formal sektor, dan pendapatan mereka. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah pendidikan kejuruan bermanfaat untuk pembangunan ekonomi dan apakah pemerintah harus berinvestasi lebih lanjut dalam pendidikan kejuruan.

 

Dalam temuannya, pendidikan vokasi memberi peluang lebih baik bagi perempuan dibandingkan sekolah umum. Sebaliknya tidak ditemukan perbedaan bagi siswa laki-laki. Selain itu, ada fakta-fakta sebagian sekolah kejuruan swasta berkinerja buruk.

 

Dari sisi sekolah swasta, Kalvin Sandabunga ingin memperkenalkan praktik pengalaman kerjanya melalui makalah bertajuk Introducing the entrepreneurship curriculum to improve high school graduates’ entrepreneurial skills: A case study of a private school in Makassar”. Seperti apa kurikulum yang disusun Kalvin? Sekolah Dian Harapan Makassar (SDHM) tempatnya bekerja berinisiatif untuk membekali siswanya untuk mengembangkan keterampilan di bidang bisnis dan kewirausahaan.

 

Dalam kurikulum SDHM, pelajaran kewirausahaan diperkenalkan sebagai salah satu pelajaran wajib untuk dua belas siswa. Pertimbangannya setelah lulus, para siswa dapat langsung menerapkan keterampilan yang dipelajari. Sebagai permulaan, mereka diminta untuk meneliti tentang kondisi pekerjaan, tingkat pengangguran, dan peluang bisnis di Indonesia dan mempresentasikan temuannya. Kurikulum selanjutnya disusun dengan detail, hingga pada akhir masa studi, para siswa ditugaskan untuk magang di sebuah perusahaan untuk mengamati, belajar, dan bekerja dari pakar, sekaligus membuat laporan dan memaparkannya di depan kelas.

 

Bersiap dari sisi strategi, Ahmad Lutfi Karim, akan memaparkan makalah bertajukProEd (Programming Education) Sebagai Program Unggulan Peningkatan Human Capital Menghadapi Bonus Demografi Indonesia 2030”ProEd merupakan program peningkatan keahlian siswa di bidang pemrograman yang bersifat vokasional. ProdEd dirumuskan dalam kurikulum sesuai jenjang pendidikan siswa baik SD, SMP, dan SMA.

“Di level Sekolah Dasar, ProEd akan membuat siswa dapat bereksperimen menggunakan bahasa pemrograman sederhana untuk mengendalikan sebuah karakter game dalam menyelesaikan misinya,” kata Karim dalam tulisannya.

Untuk level Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, levelnya ditingkatkan melalui percobaan pemecahan masalah matematika atau fisika dengan bantuan programming, juga penerapan bahasa JavaScript atau Python untuk berinovasi menyelesaikan masalah. Meski demikian, dukungan infrastruktur digital juga menjadi tantangan dalam penerapan ProEd.

 

Dari Australia, Marlon Arthur sudah menyiapkan makalah tentang wajib belajar setahun pasca SMA menuju dunia kerja. Judulnya cukup panjang, “Toward Professional Meaningful Vocational Training and Strong Nationalism in Indonesia: A 1-year development Conscription to bridge the new “pra kerja” and High School graduates to the Job market, and Indonesian Unity”. Marlon merekomendasikan pelatihan kejuruan, terutama bagi kelompok muda, dengan status "prakerja", selama setahun, seperti wajib militer. Program ini bisa dibangun melalui kolaborasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri, dan organisasi non-pemerintah. Para peserta mengajukan setahun prakerja sesuai bakat dan keterampilan. Marlon mengaitkan proses prakerja ini dengan upaya meningkatkan persatuan Indonesia. Apa maksudnya? Tunggu dan simak pemaparan lengkap Marlon dalam IDF 2019!

 

Nantikan diskusi bersama pembicara terpilih di panggung IDF 2019! Sebagai peserta IDF 2019, Anda bisa mulai berinteraksi hingga mengatur janji bertemu dengan pembicara IDF melalui aplikasi Whova. Unduh sekarang di Android dan iOS!

 

 


--> -->