Tata Kelola Pemajuan Kebudayaan Masih Terhalang Dana dan SDM Riset

May 23, 2019

Direktur Jendral Kebudayaan Kemendibud Hilmar Farid dan Dave Lumenta, antropolog ALMI dalam Diskusi KSIxChange#11

Tata kelola harus terus menjadi fokus dalam pemajuan kebudayaan sebagaimana tertuang dalam UU No 5 tahun 2017. Sebab tata kelola yang baik, akan mempermudah kebudayaan bergerak dan membangun kesadaran masyarakat. Tata kelola yang dimaksud adalah menyinergikan berbagai lembaga hingga komunitas untuk duduk bersama, terhubung satu sama lain sehingga membentuk budaya masyarakat yang mandiri.  

“Siapa melakukan apa, peran pemerintah apa, apa peran swasta dan seterusnya,” kata Direktur Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dalam Diskusi KSIxChange#11 Linking Research Agenda with Cultural Progress yang dihelat Knowledge Sector Initiative (KSI) pada 7 Mei 2019 di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.  

Dalam tata kelola ini, daerah harus aktif merumuskan apa yang dimiliki dari 10 objek pemajuan yang ditetapkan dalam UU dan selanjutnya bisa dikelola. Kesepuluh objek yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Daerah diminta mengidentifikasi objek pemajuan kebudayaan yang dimiliki. Proses ini kata Hilmar telah melibatkan 320 Kabupaten/ Kota dan berlangsung tidak mudah. Bahkan masih ada 190-an kabupaten kota yang hingga kini belum mengidentifikasinya. “Karena ketika diminta untuk mengidentifikasi kekayaan budaya, yang berarti harus melakukan riset, umumnya menjawab, daerah tidak punya uang untuk riset,” jelasnya.

Padahal identifikasi kekayaan budaya ini akan menjadi basis pengambilan kebijakan yang berkaitan pengetahuan dan budaya di daerah, yang antara lain akan didanai oleh Pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU).

Tantangan berikutnya yang bermunculan di daerah terutama luar Jawa, adalah minimnya Sumber Daya Manusia untuk identifikasi kekayaan kebudayaan. Masih banyak kabupaten yang tidak memiliki SDM untuk melakukan riset kekayaan kebudayaan. “Misalnya kalau kita bicara di Pangkajene, Kepulauan di Sulawesi Selatan atau Banggai Laut, Kabupaten seperti ini, praktis tidak punya sumber daya, tenaga yang bisa melakukan tugas mengidentifikasi kekayaan budaya,” papar Hilmar. 

Kondisi di atas menyebabkan masih ada sekitar 190 daerah yang belum mengidentifikasi kekayaan budayanya.  Sementara, dari data 320 kabupaten/ kota yang telah terhimpun kata Hilmar, kualitas riset identifikasi kekayaan budayanya sangat bervariasi. Ada hasil identifikasi yang sangat detail lantaran digarap dengan serius dengan sumber daya memadai, seperti hasil yang dipersembahkan Kota Bandung. Kata Hilmar, identifikasi kekayaan budaya di Bandung sangat lengkap dan mendalam. “Mungkin karena walikotanya saat itu Ridwan Kamil, sangat konsen pada budaya,” tambah Hilmar.

Namun banyak juga hasil identifikasi kekayaan budaya yang terlalu umum, dan kurang kuat karena berbagai sebab. Termasuk akibat keterbatasan dan dan minimnya SDM yang mampu melakukan riset dengan baik.

Dengan berbagai keterbatasan itu kata Hilmar, agenda pemajuan kebudayaan juga menjadi terbatas baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Karena itu, Indonesia harus merumuskan strategi.

Hilmar memaparan empat strategi pemajuan kebudayaan. Strategi pertama adalah perlindungan untuk menjaga keberlanjutan yang dapat dilakukan dengan cara mengenali, mencatat atau inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan dan publikasi. Langkah ini untuk mencegah saling klaim pemilik kekayaan kebudayaan yang banyak mencuat. Bahkan, bisa menimbulkan ketegangan.  

Strategi kedua berupa pengembangan, dengan menghidupkan ekosistem kebudayaan dalam berbagai aspek.

“Misalnya, novel Laskar Pelangi yang menggerakan kenaikan pariwisata secara signifikan sampai 410 persen,” Hilmar mencontohkan.

Selanjutnya dan yang ketiga, strategi pemanfaatan yaitu pendayagunaan objek pemajuan yang sangat mengandalkan pentingnya riset. Terakhir, terkait strategi  pembinaan yaitu upaya pemberdayaan SDM kebudayaan, lembaga,  dan meningkatkan peran aktif masyarakat.

Dana Abadi untuk Pengetahuan dan Riset 

Meski banyak tantangan, upaya untuk merumuskan regulasi yang berdasarkan pada riset dan pengetahuan makin terbuka.

“Undang-undang No 5 tahun 2017 memberi ruang yang cukup besar untuk itu,” tambah Hilmar.

Terbukti, dalam proses perumusan indetifikasi kekayaan yang terhimpun dari 320 kabupaten kota itu mampu mempertemukan dan melibatkan banyak pihak bidang kebudayaan di masing-masing daerah. Intinya, kata Hilmar, penelitian dan pengetahuan punya peran penting dalam memengaruhi kebijakan. Hal tersebut juga terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan India.

Meski demikian, persoalan biaya terus membayangi. Dave Lumenta, antropolog dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) mengatakan korupsi yang berlangsung bertahun-tahun, mempersulit langkah membangun kepercayaan dalam penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Sekarang di mana-mana dikepung sistem audit, sistem pengukuran, dan sebagainya,” katanya.

Menurutnya, semua dikemas angka-angka, padahal banyak hal tidak dapat dikuantifikasi.

Dalam menggunakan APBN, kata Hilmar, memang harus detail, sesuai rencana, dan berdasarkan satuan biaya sebagaimana digunakan dalam pembangunan fisik. Proses ini sulit diberlakukan dalam kegiatan-kegiatan terkait kebudayaan yang bersifat dinamis, bisa berkembang sewaktu-waktu, tidak seperti tahap pembangunan proyek fisik yang relatif bisa diprediksi, baik proses maupun durasi pekerjaanya.  

Hilmar Farid mengatakan saat ini sudah ada perubahan dalam pembiayaan kegiatan kebudayaan yaitu melalui kebijakan endowment fund atau dana abadi yang bersifat non-APBN.

“Sumbernya bisa saja negara, dalam pelaksanaannya bisa lebih fleksibel. Artinya, yang mengelola tidak bergantung pada pejabat di lingkungan birokrasi kebudayaannya. Dia harus independen,” jelas Hilmar.

Menurut Hilmar, pengelolaan dana abadi ini seharusnya menjadi kesempatan bagi banyak pihak dalam mengembangkan basis pengetahuan dan riset. Kajian dapat sebagai input dan dijadikan dasar untuk merumuskan berbagai kebijakan negara.

“Energi, sumber daya finansial, dan sebagainya, kami keluarkan dari birokrasi,” katanya.

Selanjutnya birokrasi akan lebih banyak berperan sebagai fasilitator.

“Sekarang ada dana perwalian kebudayaan. Tadi di Bappenas  baru dibahas soal itu sama dana abadi penelitian Rp900 miliar untuk tahun ini. Nanti bisa diambil 6 persen dari Rp900 miliar,” tambahnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berjanji untuk mengalokasikan dana perwalian senilai Rp 5 triliun pada 2019. Menurut Hilmar, ada sekitar Rp300 miliar yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian mulai pada 2021.

Terkait dana abadi penelitian, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp990 miliar untuk alokasi dana abadi penelitian. Dana ini untuk membiayai riset-riset yang lebih fleksibel. Dikutip dari Kompas, 4 Januari 2019, Ketua Pansus, RUU Sisnas Iptek DPR Daryatmo Mardiyanto mengatakan, dana abadi penelitian nantinya dikelola Lembaga tertentu, di mana perorangan maupun kelompok bisa mengajukan anggaran. Daryatmo mengklaim, kelak prosedur pengajuannya tidak rumit, dan tidak bergantung pada siklus anggaran. Ia yakin pola ini akan memperbaiki sistem penganggaran, terutama untuk pelaksanaan riset.


Hilmar meminta ALMI untuk aktif mengusulkan agar ada porsi dana untuk riset. Penggunaanya secara rinci harus dibahas bersama, termasuk oleh asosiasi-asosiasi profesi dan keahlian. Ia mengingatkan peran dan suara ALMI dan berbagai asosiasi sangat penting agar dana abadi penelitian dan dana perwalian kebudayaan tidak dikelola dengan cara-cara lama.

Menurut Ketua ALMI Alan Koropitan, dana abadi penelitian menjadi eksperimen yang menarik yang harus dimanfaatkan.

 


--> -->