Batik Girl, Boneka yang Memotivasi Ribuan Anak Penderita Kanker dan Disabilitas

April 25, 2019

Seumber; Dokumen CFIC

"Tahun 2016, kami membagikan seribu boneka untuk anak-anak penderita kanker dan disabilitas di sepuluh provinsi di seluruh Indonesia. Tujuannya menciptakan lapangan pekerjaan untuk 500 perempuan binaan lima penjara di Indonesia,mengampanyekan anti-narkoba, dan memotivasi anak-anak penderita kanker dan disabilitas,” kata pendiri Yayasan Cinderella for Indonesia Centre (CFIC) Lusia Efriani Kiroyan saat ditemui di Road to IDF di Batam, 22 Februari 2019. 

Lusia mulai menjalankan usaha sosialnya pada 2013 dengan memproduksi boneka barbie berpakaian batik. Mulanya, CFIC hanya menyasar ibu tunggal, anak jalanan, dan anak berkebutuhan khusus. Mereka diajari membuka usaha dengan modal kecil seperti membuat es, cokelat, maupun kue. 

CFIC, kata Lusia, merupakan bentuk syukurnya setelah lepas keterpurukan masalah rumah tangga dan usai sembuh dari penyakit TBC. Ibu tunggal dua anak ini ingin mendorong perempuan kepala keluarga bisa berdaya dan mandiri.

Namun ide membuat boneka batik muncul ketika Lusia menjenguk dan memotivasi perempuan di lembaga pemasyarakatan. Lusia merasa tak cukup memberikan motivasi saja, karena akan membuat mereka lekas bosan. Dia akhirnya mengajari para warga binaan berbisnis lewat boneka batik dengan nama Batik Girl. 

Nama Batik Girl terinspirasi ketika Lusia berkesempatan mengikuti pelatihan International Visitor Leadership Program di Amerika Serikat pada 2011. Selama dua bulan belajar mengenai ekonomi pembangunan, Lusia kerap memakai baju batik hingga teman-temannya menjuluki ‘Batik Girl’. 

Para warga binaan menyambut positif karena selain bisa menghabiskan waktu di tahanan, mereka juga mendapatkan keahlian serta upah. Hasil karya mereka mendandani barbie dihargai Rp 10.000-Rp 15.000 per boneka. Satu boneka dilempar ke pasaran dengan harga USD 20.

“Keuntungan penjualan Batik Girl ini saya gunakan kembali untuk mendanai kegiatan sosial lainnya,” kata Lusia dikutip dari Batam Pos

Sebelum dipekerjakan, sebanyak 50 warga binaan mendapatkan pelatihan selama tiga hari. Hari pertama, mereka akan mendapatkan ilmu kewirausahaan dan konseling dari psikolog. Hari kedua, mereka berlatih membuat pola baju batik dan hair-do untuk boneka. Hari ketiga mulai produksi pakaian batik dan mendandani boneka.

Lusia mengatakan 50 perempuan itu akan menularkan keahliannya kepada rekan sesama warga binaan di lapas. Sampai saat ini, CFIC sudah mempekerjakan 500 lebih perempuan binaan dari lima lapas di antaranya Rutan Batam dan Lapas Barelang Kepulauan Riau, dan Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta Timur. 

Batik Girl diproduksi sebanyak 2000-an boneka per tahun dan dipasarkan di Asia Tenggara, Australia, dan Amerika. Dikutip dari Femina, Lusia berharap Batik Girl bisa dijual di hotel-hotel pusat pariwisata maupun maskapai penerbangan domestik dan luar negeri. 

“Karena terus terang, tidak mudah menjual produk ini di negeri sendiri,” ujar Lusia yang pernah meraih Young Southeast Asian Leadership Initiative dan Seeds of the Future Competition pada tahun 2014 lalu. 

Batik Girl pun terus berganti tampilan dan gaya. Boneka cantik ini tak hanya menggunakan baju batik tetapi juga ada yang versi hijab. Pada 2015, Batik Girl berkolaborasi dengan Saung Angklung Udjo yang membuat si boneka tampak gaya dengan angklung kecil di tangannya. 

Selanjutnya, Lusia membuat target 10 ribu boneka Batik Girl for ASEAN yang akan ditujukan kepada anak-anak penderita kanker dan disabilitas di Asia Tenggara. Dia ingin memotivasi anak-anak di Asia Tenggara agar semangat meraih mimpi apapun kondisinya. 

“Melalui Program Batik Girl ini, kami juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan juga menjalin persahabatan dengan negara-negara di ASEAN,” kata Lusia. 

Langkah Lusia memberdayakan perempuan binaan lewat Batik Girl merupakan upaya menciptakan peluang kerja inklusif. Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pemerataan dan Kewilayahan Oktorialdi mengatakan Lusia dengan Batik Girl adalah contoh usaha sosial dan patut ditiru oleh pelaku bisnis atau pegiat sosial lainnya. 

“Usaha sosial berpotensi mendorong penciptaan lapangan kerja dan mengatasi persoalan sosial di masyarakat. Tantangannya adalah mencari cara untuk mendukung pertumbuhan dan keberlanjutan usaha sosial,” kata Oktorialdi saat membuka Road to IDF di Semarang, pada akhir Maret lalu. 

Indonesia Development Forum (IDF) yang akan digelar pada 22-23 Juli 2019 nanti akan menjawab tantangan keberlanjutan usaha sosial. IDF 2019 mengajak aktor-aktor usaha sosial hadir dan memberikan contoh baik menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia. 

Forum internasional ini diinsiasi oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative. IDF 2019 mengambil tema “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. 

Topik yang dibahas tak hanya mengenai usaha sosial melainkan juga solusi lain seperti transformasi struktural, reformasi pendidikan vokasi, perbaikan iklim investasi, penguatan UMKM, pengembangan talenta lokal hingga peningkatan kualitas manusia. 

Punya solusi untuk menciptakan peluang kerja inklusif? Ayo kirimkan ide dan gagasan ke Indonesia Development Forum!


 


--> -->