Mau Jadi Negara Maju, Penduduk RI Banyakan 'Modal Gelar Doang'

April 12, 2019

Jakarta - Indonesia diproyeksi menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030 mendatang. Salah satu modal Indonesia mewujudkan hal tersebut adalah perubahan struktur sumber daya manusia (SDM) nya yang akan memberi peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Hal ini dapat dilakukan jika Indonesia dapat menciptakan peluang kerja yang berkualitas dan produktif. Sehingga nantinya bisa dipakai guna memenuhi kebutuhan pasar atau dunia usaha di masa mendatang.

Namun di satu sisi, struktur angkatan kerja Indonesia saat ini sedang berbanding terbalik dengan yang dibutuhkan di masa depan. Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan hal ini menjadi salah satu isu utama yang sedang dibahas pemerintah.

"Isu ini kita angkat karena kita melihat, meski pengangguran kita turun tapi tingkat penurunannya belum cukup tajam. Jadi masih ada 7 juta angkatan kerja yang masih menganggur saat ini," kata Bambang saat berbincang dengan detikFinance di kantornya, Rabu (10/4) lalu.

"Kemudian yang bekerja pun mayoritas masih sektor informal, belum sektor formal. Padahal harusnya kalau negara yang sudah menuju maju, sektor formalnya yang lebih dominan," tambahnya.

Bappenas akan membahas isu ini lebih dalam pada gelaran Indonesia Development Forum 2019 yang akan diadakan Juli mendatang. Penyediaan angkatan kerja yang mumpuni mutlak harus disiapkan saat ini untuk menghadapi era digitalisasi Industri 4.0 di masa mendatang.

"Dari segi yang bekerja, lulusannya masih SMA ke bawah. Artinya masih didominasi oleh unskilled labor. Padahal kita mau menghadapi industri 4.0 yang pasti menuntut kualitas dan spesialisasi. Sehingga pendidikan yang lebih tinggi itu menjadi kebutuhan," ungkapnya.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2018, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia tercatat sebesar 5,34% alias masih ada 7 juta penduduk yang menganggur. Meski ada pengurangan angka pengangguran, namun potret angkatan kerja yang ada saat ini masih jauh dari refleksi sebuah negara maju.

Bambang bilang, ada miss match antara angkatan kerja yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dengan apa yang dibutuhkan dunia usaha saat ini. Hal tersebut membuat banyak orang yang tidak bekerja sesuai dengan bidangnya alias modal gelar saja.

"Yang jadi masalah di lapangan pekerjaan ini kadang-kadang bukan ada atau tidaknya lapangan kerja, tapi adanya ketidakcocokan atau miss match antara apa yang diperlukan pasar atau pemberi kerja dengan apa yang bisa disediakan oleh lembaga pendidikan," terangnya.

"Contohnya kalau kita lihat pengangguran berdasarkan lulusan sekolah, salah satu yang paling tinggi lulusannya adalah SMK, bahkan lebih tinggi dari SMA. Artinya ada yang salah nih. Kenapa SMK yang harusnya lebih gampang cari kerja tapi malah lebih banyak penganggurannya dari pada SMA?" ujar dia.

Untuk itu, pemerintah tengah menyiapkan rencana besar mengubah sistem kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia dalam rangka menyiapkan kebutuhan angkatan kerja di masa depan. Nantinya miss match yang terjadi di lapangan saat ini diharapkan dapat terus ditekan.

"Jadi yang harus diperbaiki adalah miss match nya. Supaya miss match ini tidak terjadi, kurikulum harus di-upgrade. Selain kurikulum pendidikan umum, yang harus kita arahkan kepada science, technology, engineering, and math. Ini harus diperkuat. Karena itu kebutuhan pasar sekarang. Dengan digitalisasi, industri 4.0, penguasaan akan bidang ini menjadi harus. Sehingga kita butuh orang-orang yang tidak hanya lulus dari bidang ini tapi juga punya kemampuan," ungkap Bambang.

Sumber: Detik Finance


--> -->