Derita TKI Ilegal: Berangkat Miskin, Pulang Miskin

April 11, 2019

Sejumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) berjalan menuju bandara untuk pulang ke Indonesia di kantor Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (1/7). Pada H-5 lebaran, para BMI mulai pulang ke kampung halamannya untuk dapat berkumpul bersama keluarga di kampung halamannya. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/16.

"Buruh migran domestik ini sulit mendapatkan pekerjaan yang layak," kata SDGs Officer di Migrant Care Safina Maulida membuka Workshop Tinjauan Kritis Komitmen dan Implementasi SDGs Gol 8 untuk penyusunan Voluntary National Review (VNR), Senin, 8 April 2019.

Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan Indonesia telah mengirimkan sebanyak 283.640 pekerja migran ke luar negeri sepanjang 2018. Hampir 200 ribu dari angka tersebut adalah buruh migran perempuan dan 150 ribu dari mereka bekerja di sektor domestik.

Fina mengatakan ada empat aspek yang perlu diperhatikan saat ingin mewujudkan kerja layak di pekerja migran Indonesia. Empat hal itu adalah feminisasi migran, migrasi aman, tindak pidana perdagangan orang, dan hak atas informasi. Feminisasi migran ini menekankan pada aspek pengambilan kebijakan yang adil gender, mengingat perempuan mendominasi sektor ini.

Perempuan yang bekerja menjadi buruh migran terpaksa meninggalkan keluarganya. Fina mencontohkan, hasil temuan lapangan menunjukkan banyak buruh migran di Nusa Tenggara Timur yang berangkat secara ilegal. Upah hasil kerja mereka seringkali dimanfaatkan suami untuk berfoya-foya, bahkan menikah lagi.

“Jadi mereka berangkat karena miskin, saat kembali ke kampung tetap miskin,” ujar Fina.

Kemiskinan kerap menghadapkan perempuan pada pilihan yang sempit. Salah satunya dengan menjadi pekerja migran melalui proses atau prosedur yang tidak aman. Fina mengatakan situasi kian buruk ketika terdapat kasus penipuan, pemalsuan identitas, dan beragam pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pengiriman buruh migran. Masalah ini membuat pekerja menghadapi situasi yang sulit saat berhadapan dengan kasus hukum.

Catatan Migrant CARE, kata Fina, 74 persen kasus hukum yang lembaganya dampingi sepanjang tahun 2017-2018 adalah indikasi perdagangan orang. Hukuman bagi pelaku atau penyiksa pekerja migran masih dalam impunitas dan hukuman ringan yang tidak pernah adil, minimal sebanding dengan yang dialami korban.

Hukuman bagi pelaku ini berbanding terbalik dengan ancaman sanksi berat yang menghantui Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Menurut catatan Migrant CARE, 5 dari 6 pekerja migran yang dieksekusi mati di Arab Saudi adalah perempuan. Misalnya hukuman mati yang menimpa pekerja migran perempuan asal Majalengka, Tuti Turslawati, karena membela diri dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikannya.

Kepala Sub-Direktorat Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Kementerian Tenga Kerja, Yuli Adiratna mengatakan pemerintah terus mempebaiki sistem agar buruh migran dapat bekerja dengan layak. Salah satunya dengan sistem penempatan satu kanal yang dikendalikan oleh Pemerintah Indonesia dan negara tujuan.

Sejak 2018, sistem penempatan satu kanal di Arab Saudi dilakukan dan diawasi oleh pemerintah dua negara. Penempatan buruh Indonesia di Arab Saudi hanya boleh di wilayah Jeddah, Madinah, Riyadh, dan wilayah timur, yaitu Damam, Qobar, Dahran. Perusahaan penyalur yang berhak menempatkan buruh migran harus lolos seleksi pemerintah.

“Jumlahnya tak lebih dari 100 perusahaan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta),” kata Yuli.

Sistem ini juga memberi hak kepada pekerja migran seperti masih dimungkinkan berganti majikan, pembatasan jam kerja, akomodasi yang layak, akses informasi, libur satu hari dalam sepekan, hingga jaminan bonus, dan biaya pemulangan.    

Mendorong migrasi aman dan legal, Yuli mengatakan pembentukan layanan terpadu satu pintu terus dibentuk di  kantong-kantong daerah penyedia buruh migran. Saat ini, layanan satu pintu untuk Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) telah tersedia di 31 wilayah. Pemerintah juga membentuk Satuan Tugas Pencegahan TKI Non Prosedural yang ditempatkan di 21 lokasi embarkasi. Sebanyak 1.026 buruh migran ilegal yang berhasil dicegah ke luar negeri.

Direktur Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Mahatmi Parwitasari Saronto menuturkan keahlian buruh migran perlu ditingkatkan agar mendapatkan pekerjaan dan gaji yang sesuai. Caranya dengan pelatihan kerja dan pengawasan ketenagakerjaan.

"Target pelatihan kerja tahun ini adalah 277.424 orang, termasuk untuk 10 ribu CPMI dan 32 ribu orang di 1000 BLK komunitas," kata Ami.

Langkah pemerintah mendorong kerja layak bagi pekerja migran perlu mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan lain. Karena itulah, Bappenas dengan didukung Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative kembali menggelar Indonesia Development Forum (IDF) dengan tema besar “Mission Possible:  Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.

IDF 2019 mengundang akademisi dan peneliti, praktisi pembangunan, perwakilan organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil, pemerintah, dan sektor swasta menyampaikan solusinya berdasarkan data riset dan praktik baik. Forum ini menerima masukan-masukan tentang upaya mewujudkan kerja layak dan pekerja produktif bagi seluruh pekerja Indonesia, termasuk yang berada di luar negeri.

Ayo kirimkan gagasanmu ke Indonesia Develompment Forum sebelum tanggal 26 April 2019!


--> -->