Foto: paramytha.ratih
Foto: paramytha.ratih
Setelah ditolak kerja ratusan kali, lewat secangkir kopi ini para penyandang disabilitas tuli bisa berdaya. Sembari mengampanyekan kesetaraan dan bahasa isyarat ke teman dengar.
Tiga sekawan penyandang disabilitas tuli, Trierwinsyah, Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso, dan Mohamad Adhika membuka kedai kopi yang bernama ‘Kopi Tuli’, atau Koptul. Berdiri sejak Mei 2018, Kopi Tuli telah memiliki dua gerai di Limo, Depok dan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pelanggannya beragam, baik yang tuli maupun yang bisa mendengar.
“Kita pakai nama Kopi Tuli, bahasa Indonesia. Karena kalau coffee, Bahasa Inggris, teman-teman tuli banyak yang belum paham apa itu,” kata Erwin, panggilan Trierwinsyah saat ditemui awal Februari lalu.
Untuk memudahkan komunikasi dengan teman tuli dan teman dengar, Kopi Tuli menggunakan simbol huruf lewat bahasa isyarat gerakan tangan. Misalnya, isyarat A untuk Kosu (kopi susu) Koso, Kosu Wings dengan huruf B, Kosu Siput dengan huruf C, dan 12 jenis kopi lainnya. Petunjuk pemesanan diletakkan di atas kasir sehingga teman dengar pun bisa membaca. Kemasan kopi Kopi Tuli juga dilengkapi gambar panduan bahasa isyarat.
Awalnya, Kopi Tuli berdiri karena Putri dan Dhika tak kunjung mendapatkan pekerjaan, sedangkan Erwin baru saja lulus kuliah bisnis. Sudah ratusan lamaran yang mereka kirimkan. Bahkan, Putri tak menyerah mengirim 500 aplikasi lamaran kerja. Namun saat wawancara, perusahaan menolak setelah mengetahui mereka tuli. Tiga sekawan ini akhirnya mendirikan Kopi Tuli karena suka nongkrong dan minum kopi.
Setelah berdiri, Kopi Tuli merekrut karyawan yang juga penyandang disabilitas tuli. Erwin mencatat jumlah pelanggan yang tuli dan bisa mendengar terhitung seimbang. Tak hanya itu, kedai ini menjadi tempat bagi siapa saja ingin belajar bahasa isyarat.
Setiap hari, satu kedai Kopi Tuli (Koptul) melayani lebih dari seratus gelas. Meski telah merekrut pegawai yang juga teman tuli, Erwin dan rekan-rekannya seringkali harus turun tangan melayani pembeli di kedai.
Nyatanya peluang kerja menjadi barista kopi tak hanya disediakan sesama penyandang disabilitas tuli. Head of Marketing KOPPI Ario Fajar mengatakan pihaknya memberikan kesempatan yang sama kepada pekerja tuli untuk bergabung di kedai kopi digitalnya. KOPPI berkolaborasi dengan Handai Tuli saat menyeleksi karyawan dan memberikan pelatihan selama satu bulan.
“Satu titik KOPPI, minimal ada dua barista. Ke depan, kami ingin memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas yang lain,” ujar Ario.
Salah satu barista tuli di KOPPI, Nabila, mengatakan pekerjaannya sesuai dengan latar belakang pendidikan saat kuliah di jurusan perhotelan. Saat bekerja, dia juga mengampanyekan bahasa isyarat dan kepedulian terhadap penyandang disabilitas kepada pembeli maupun sesama rekan barista.
“Saya diajari meracik kopi oleh teman dengar. Sebaliknya, mereka juga mau belajar bahasa isyarat,” kata Nabila.
Keterampilan dan Kemauan Jadi Kunci
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas memberikan peluang penyandang disabilitas mendapatkan kerja. Kantor swasta wajib merekrut penyandang disabilitas menimal 1 persen, sedangkan instansi pemerintah minimal 2 persen dari jumlah lowongan.
Ketua (plt) Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya Slamet Tohari mengatakan tugas pemerintah memastikan aturan tersebut diimplementasikan. Inklusivitas di dunia kerja dapat terwujud ketika infrastruktur dan sistem di tempat kerja bisa terakses penyandang disabilitas.
Selain akses, kunci penyandang disabilitas bisa bekerja adalah keterampilan dan kemauan. Nimas, barista tuli di KOPPI, memberi saran kepada penyandang disabilitas untuk tidak mencari pekerjaan di luar kemampuan karena akan menimbulkan perasaan tertekan sehingga tak bisa bekerja dengan baik. Dia mengajak penyandang disabilitas lebih percaya diri.
“Jangan takut bullying (dirisak) atau diskriminasi, jangan mudah menyerah karena kita adalah setara dengan mereka (red: orang dengan non-disabilitas). Tunjukkan kalau kita bisa melakukan pekerjaan sama seperti mereka, bahkan lebih baik,” tutur Nimas.
Chief Excecutive Officer General Electric Indonesia Handry Satriago mengatakan penyandang disabilitas lebih mudah mengakses pekerjaan dibanding zamannya dulu. Sekarang, banyak aplikasi yang membantu penyandang disabilitas mendapatkan informasi seputar pekerjaan.
“Peyandang tuli, misalnya, tidak bisa bekerja di bidang yang membutuhkan komunikasi lewat telepon, tapi dia bisa bekerja di depan komputer atau tempat lain sesuai bakatnya. Tinggal kita mau atau tidak,” kata Handry yang juga penyandang disabilitas dengan kursi roda.
Demi mendukung peluang kerja inklusif bagi penyandang disabilitas, Indonesia Development Forum menerima masukan melalui Pengajuan Proposal. Forum yang digelar oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Inititative ini mengambil tema besar “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.
IDF 2019 akan mempertemukan para pemangku kepentingan, pemerintah maupun sektor privat, untuk duduk bersama dan berkolaborasi guna menemukan solusi kebijakan pembangunan berdasarkan riset dan praktik baik. Ayo kirimkan ide dan gagasan mengenai kerja layak dan pekerja produktif ke Indonesia Development Forum!**