Best Paper: Cara Kembangkan Kemampuan Teknologi Nasional di Zona Ekonomi

2018

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memberikan penghargaan kepada peraih best paper di IDF 2018, Karina Miaprajna Utari

Negara-negara berkembang saat ini berusaha meniru strategi Asia Timur, terutama Cina dan Korea Selatan, dengan menempatkan Foreign Direct Investment (FDI) atau  Investasi Asing Langsung sebagai bensin pembangunan industri. Mereka berusaha mewujudkan iklim bisnis yang kondusif untuk menarik FDI. Salah satunya dengan cara  membangun zona ekonomi seperti  Zona Perdagangan Bebas, Zona Pengolahan Ekspor, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Zona Industri, Taman Teknologi, dan Koridor Ekonomi Regional (ASEAN Sekretariat & UNCTAD 2017).

Di Indonesia,  sektor swasta berpartisipasi sebesar 80 persen dalam pembangunan zona ekonomi  (Sekretariat ASEAN dan UNCTAD 2017). Zona ekonomi menjadi  tempat yang menguntungkan bagi FDI karena menyediakan infrastruktur yang mapan, bantuan pengaturan bisnis, dan pengembangan klaster. Untuk lokasi industri di luar Jawa, zona ekonomi secara signifikan mengurangi biaya pendirian usaha.

FDI  yang berhasil menciptakan industrialisasi inklusif kebanyakan ditemukan di pemerintah yang melakukan intervensi ekonomi sehingga menghasilkan National Technological Capability (NTC) atau Kemampuan Teknologi Nasional,  seperti Cina dan Korea Selatan. Namun, banyak dari zona ekonomi yang hanya menawarkan tempat produksi tanpa memenuhi janji-janji FDI seperti alih teknologi.

Zona ekonomi di Indonesia telah berevolusi dari kawasan industri sederhana menjadi Kawasan Ekonomi Khusus. Berbagai fasilitas dan insentif telah diberikan pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan merangsang pembangunan NTC. Namun benarkah KEK berhasil mengembangkan NTC?

Staff Kesekretariatan ASEAN Karina Miaprajna Utari membandingkan industrialiasasi antara Indonesia dan Korea Selatan. Negeri gingseng ini dianggap salah satu negara yang berhasil memperkuat zona ekonomi yang menunjang kemampuan teknologi nasionalnya.

Jalur Industrialisasi Indonesia dan Korea Selatan

Kebijakan industri Korea Selatan dimulai sejak awal 1960-an yang berkonstribusi terhadap pertumbuhan Product Domestic Bruto rata-rata 7,5 persen; 8,6 persen di era 1970-an; dan 9,3 persen pada 1980-an (Radelet, Sachs dan Lee 2001). Kinerja positif ini terganggu saat investor asing menarik modal akibat krisis keuangan Asia 1997-1998. Namun,  pertumbuhan ekonomi mulai  1960 hingga 1990-an menjadi fondasi yang kuat bagi industri Korea Selatan, hingga akhirnya pulih di tahun 2000-an.

Fondasi industri Korea yang kuat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang selalu memastikan ketersediaan tenaga kerja terdidik dan pekerja keras. Langkah ini dapat mendukung strategi alih teknologi dari luar negeri agar tercipta produk-produk yang berkualitas. Pemerintah Korea juga membantu promosi dan mendorong chaebol atau para konglomerat untuk menghasilkan produk ekspor.

Chaebol menjadi tulang punggung industrialisasi yang sangat didukung dan didanai oleh pemerintah namun mereka tetap diprivatisasi. Chaebol mendapatkan subsidi dari pemerintah bila berhasil mengekspor sesuai target yang ditetapkan (Amsden 1991). Sebaliknya, chaebol membantu pemerintah melakukan investasi teknologi sehingga industri dalam negeri mampu menghasilkan produk ekspor yang berkualitas.

Menariknya, sejak 2003, zona ekonomi di Korea Selatan hanya ditemukan di daerah tertinggal dengan tujuan sebagai pusat modal dan informasi global (Zona Ekonomi Bebas Korea 2015). Tujuan utama kebijakan zona ekonomi bukanlah pembelajaran teknologi semata melainkan juga menjalin hubungan yang saling menguntungkan antar-perusahaan yang ada. Hubungan ini menghasilkan dua manfaat. Pertama, industri  terus melakukan penelitian dan pengembangan bersama sehingga menciptakan inovasi. Kedua, membantu usaha kecil dan menengah memasuki rantai nilai global. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi di Korea Selatan akan bersifat berkelanjutan dan inklusif.

Berbeda dengan Korea Selatan, Indonesia mengubah strategi industrialisasinya dengan memanfaatkan zona ekonomi khusus untuk menarik FDI sebagai pemain utama. Tujuannya agar perusahaan lokal dapat memasuki rantai nilai global dan mendapatkan rembesan teknologi dari FDI. Sebelumnya, zona ekonomi khusus merupakan strategi industrialisasi yang mengandalkan sumber daya alam yang ada.

Industrialisasi Indonesia dimulai akhir 1960-an dan dipercepat 1980-an. Percepatan ini disebabkan kebijakan negara yang mendorong diversifikasi sebagai langkah adaptif saat harga minyak jatuh (Goeltom 2007). Ini adalah titik beralih dari industrialisasi sumber daya alam menjadi manufaktur.

Melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, negara mempromosikan manufaktur berorientasi ekspor berdasarkan potensi sumber daya di masing-masing kawasan. MP3EI membagi nusantara menjadi beberapa koridor industri berdasarkan ketersediaan sumber daya, yaitu Sumatera (perkebunan dan industri pengolahan), Jawa (inovasi dan layanan teknologi cyber), Kalimantan (energi), Sulawesi (budidaya dan industri pengolahan), Bali - Nusa Tenggara (ekowisata) dan Papua - Maluku (penambangan dan pemrosesan bijih) (Berawi, Miraj dan Sidqi 2017). Dengan demikian, MP3EI menggunakan zona ekonomi sebagai strategi untuk meningkatkan industrialisasi di Indonesia.

Di zona ekonomi, insentif pajak dan non-pajak diberikan agar bisa bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi. Keuntungan lain dari lokasi di zona ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur kolektif mulai dari konektivitas hingga pengelolaan limbah. Banyak zona ekonomi terletak di daerah tertinggal dengan tujuan mencapai pembangunan yang inklusif. Namun, insentif untuk perusahaan yang berlokasi di daerah tertinggal tidak meningkatkan nilai tambah karena tidak tersedianya tenaga kerja terampil dan akses pasar (Rothenberg, Bazzi, dkk. 2017).

Kemampuan Teknologi Nasional

Kebijakan industrialisasi Korea Selatan menentukan NTC. Arah dan kecepatan pembelajaran teknologi di Korea Selatan mempunyai ciri yakni intervensi negara, chaebol, pengembangan sumber daya manusia, kebijakan ekspor, strategi transfer teknologi, kebijakan penelitian dan pengembangan, sistem sosiokultural, dan strategi sektor swasta (Kim, Imitation to Innovation: Dinamika Pembelajaran Teknologi Korea 1997).

Tahapan pengembangan Kemampuan Teknologi Nasional di Korea Selatan bermula dari kebijakan pemerintah yang menyediakan sumber daya dan memfasilitasi akses pasar bagi chaebol. Ketika chaebol berkembang, mereka mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional dengan produk inovatif dan bernilai lebih tinggi. Inovasi produk merupakan hasil hubungan yang kuat antara bisnis, universitas dan lembaga penelitian, dan pemerintah (Mazzoleni dan Nelson 2007).

Di Indonesia, perkembangan industri tampaknya sangat bergantung pada FDI. Investasi asing didorong dengan dua cara yakni kemajuan teknologi di negara tujuan dan investor melakukan efisiensi dengan mencari sumber daya yang paling hemat biaya. Alhasil, FDI memang meningkatkan proses produksi namun tidak berdampak pada kemampuan teknologi (Humphrey & Schmitz, 2002). Sebaliknya, FDI juga dapat merugikan ekonomi tuan rumah jika terlalu bergantung pada investasi asing (Wade,2010).

Indonesia, dengan MP3EI-nya, membagi kawasan industri berdasarkan sumber daya alam. Pengembangan sumber daya manusia menjadi faktor penting terutama di zona ekonomi yang terletak di daerah tertinggal karena merupakan tenaga kerja bagi perusahaan. Bila pengembangan sumber daya manusia diabaikan, kemungkinan FDI untuk menghasilkan alih teknologi di daerah tertinggal akan berkurang karena SDM yang berpendidikan dan terampil tidak tersedia.

Selain insentif, NTC juga ditentukan oleh kemampuan dan institusi zona ekonomi. Kemampuan yang dimaksud adalah fasilitas operasional perusahaan melalui infrastruktur fisik dasar, seperti jalan, telekomunikasi, dan tanah. Ikhwal institusi, hubungan antara akademisi- bisnis - pemerintah Korea Selatan mengilhami kebijakan di Indonesia. Dengan mengintegrasikan instistusi-institusi tesebut, produk hasil penelitian dan pengembangan dapat dikomersilkan.

Fokus Industrialisasi

Meski chaebol telah memperluas bisnis mereka ke beragam industri, pemerintah Korea Selatan hanya fokus berinvestasi pada tiga industri yakni otomotif, semikonductor, dan elektronik (Kim 1997). Fokus industrialisasi mendorong diversifikasi dan spesialisasi produk. Menariknya, ketiganya saling berkaitan dan melengkapi sehingga teknologi bisa diserap dan ditularkan ke industri lain baik yang sejenis maupun berbeda.

Lewat MP3EI, Indonesia mempunyai delapan program pembangunan dengan 22 kegiatan ekonomi utama (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 2011). Programnya adalah pertanian, pertambangan, energi, industri, maritim, pariwisata, telekomunikasi, dan pengembangan zona strategis. Identifikasi fokus industrialisasi Indonesia tidak jelas karena beberapa dari delapan program ini tidak menggambarkan industri tertentu.

Kurangnya fokus industrialisasi mengakibatkan negara sulit mengalokasikan sumber daya. Alasan tidak fokus industrialisasi pada tertentu karena ketiadaan teknologi perintis sebagai petunjuk sektor yang perlu diprioritaskan. Inilah menyebabkan pelatihan dan pengembangan sulit terjadi(Amsden 1991). Padahal, penelitian dan pengembangan menghasilkan inovasi yang menumbuhkan kemampuan teknologi nasional.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, perbedaan industrialisasi Korea Selatan dan Indonesia terkait insentif dan upaya pembelajaran teknologi. Ketidakmampuan merintis perusahaan-perusahaan teknologi nyatanya mempengaruhi NTC di Indonesia. Selain itu, industri Indonesia kurang fokus industrialisasi bila dibandingkan dengan Korea Selatan. Inilah yang menyebabkan Indonesia sulit melakukan spesialisasi kemampuan tenaga kerja yang menentukan peningkatan NTC.

Meskipun demikian, kebijakan zona ekonomi  sebagai katalis pengembangan kemampuan teknologi tidak perlu diubah karena insentif telah diberikan kepada perusahaan di kawasan tesrsebut. Hanya saja, pemerintah perlu mengubah sasaran insentif kepada perusahaan yang melakukan pembelajaran dan peningkatan teknologi.**


Komentar
--> -->