Museum Pustaka Lontar, Berdaya dengan Kearifan Lokal

2018

Museum Pustaka Lontar. Prakarsa masyarakat desa untuk mengumpulkan dan memelihara lontar. Contoh pengelolaan kekayaan intelektual yang berbasis komunitas. Pemajuan kebudayaan dalam praktek. (Dokumen: Hilmar Farid)

Di Dukuh Penaban, Bali, penduduk desa bergotong royong mengelola Museum Pustaka Lontar agar budaya tetap lestari.  Pemberdayaan masyarakat ini diyakni menjadi solusi masalah kemiskinan dan pengangguran berbasis kearifan lokal. 

“Pengelolaan museum nantinya tak hanya pelestarian naskah lontar, juga tempat pagelaran budaya Bali serta menjadi objek wisata,” kata Jro Nengah Suarya, pengelola Museum Pustaka Lontar, Dukuh Penaban, Karangasem, Bali, ketika dihubungi pertengahan Juli lalu.

Suarya optimistis tujuan pendirian museum bakal tercapai. Kunci keberhasilan utama bukan hanya bantuan dari pemerintah atau dukungan swasta, melainkan semangat dan gotong royong masyarakat setempat. Museum ini melibatkan masyarakat lokal di bidang pengelolaan dan atraksi seni budaya.

Dengan seluas 1,5 hektare, museum menjadi pusat studi dan pelestarian lontar yg saat ini keberadaannya makin memprihatinkan. Tak hanya menyimpan naskah lontar, bangunannya terdiri dari  Bale Sangkul Putih (balai tempat pertemuan dan pembelajaran), ruangan pajangan koleksi naskah lontar, perantenan (tempat memasak untuk kebutuhan upacara), panggung pertunjukan, dan pendopo untuk para wisatawan menginap.

Museum Pustaka Lontar menghuni di area tegalan subur yang menghijau Dukuh Penaban. Dukuh ini ditempati 491 kepala keluarga dengan jumlah keluarga kurang mampu mencapai 124 KK. Keberadaan museum ini diharapkan menarik wisatawan lokal dan mancanegara sehingga menghasilkan pendapatan bagi warga setempat.

Alhasil tak hanya melestarikan tradisi masyarakat Bali, pembangunan ekonomi pun terjadi. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampui.

Museum  ini telah mengoleksi hampir 700 cakep lontar dan ribuan salinan isi lontar dari pelbagai museum, termasuk Museum Leiden, Belanda.  Isinya beragam seperti lontar  usada (pengobatan), babad (silsilah atau sejarah), astakosala (arsitektur), asta brata (kepemimpinan), dharma caruban (kuliner), dolanan (permainan), dharma pemaculan (pertanian), kakawin (karya sastra seperti Ramayana, Mahabharata) dan masih banyak lagi.

Keberadaanya mendapatkan perhatian sejumlah pihak terkait dari dalam maupun luar negeri.  Dikatakan Jro Suarya, pihaknya telah melakukan kerja sama dengan penyuluh bahasa Bali untuk mengumpulkan lontar Bali dan pemerintah sebagai pembinaan desa adat setelah ditetapkan awal April 2017 lalu.

“Penetapan desa adat dan adanya museum ini akan mengatasi masalah kemiskinian, pemberdayaan masyarakat, mencegah urbanisasi, dan membuka lapangan kerja,” kata Suarya.

Gagasan pembangunan ekonomi lewat pemberdayaan masyarakat inilah yang  diyakini dapat mengurangi ketimpangan pendapatan  dan daerah di Indonesia. Ide Museum Pustaka Lontar yang dikelola oleh masayarakat adat di Penaban, Bali, mengantarkan Suarya menjadi pembicara di Indonesia Development Forum 2018.

Di Indonesia Development Forum 2018, Suarya mempresentasikan kelindan hubungan Museum Pustaka Lontar dan masyarakat Dukuh Paneban sebagai pengelola. Pengelolaan Museum tentu menjadi contoh yang baik untuk daerah lain mengenai pembangunan ekonomi yang mengandalkan partisipasi publik. Booth Museum Pustaka Lontar kemudian menjadi ruang pertukaran gagasan dan inisiatif antara peserta forum dan pengambil keputusan.

Lewat IDF 2018 pula, Suarya bisa bertemu dengan sejumlah pemegang kebijakan pusat yang berkaitan dengan kebudayaan seperti Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Hilmar Farid,  Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia Ricky Joseph Pesik, dan pelbagai pihak lain. Suarya mendapatkan masukan seperti cara mengembangkan potensi lokal sebagai sumber ekonomi kreatif.

Hilmar Farid mengatakan Museum Pustaka Lontar menjadi contoh pengelolaan kekayaan intelektual dan budaya berbasis komunitas. Kekayaan dan kearifan lokal inilah bisa menjadi jalan pemerintah daerah, bahkan skala desa, untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan mengurangi kesenjangan kebudayaan. Caranya dengan menjadikan sektor budaya sebagai bisnis utama.   

“Undang-Undang No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyediakan platform untuk menuju hal itu (pembangunan kebudayaan),” kata Hilmar seperti yang disampaikan saat di Indonesia Development Forum, 11 Juli 2018.

Pertemuan Suarya  dan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid di IDF 2018 berlanjut pada kunjungan ke Museum Pustaka Lontar dua hari setelahnya, 13 Juli 2018. Diskusi antara Hilmar dan pengelola menghasilkan kolaborasi bersama agar museum menjadi pusat pelestarian lontar di Bali. Salah satunya dengan meminta Hilmar menjadi kurator.[BK2] 

"Kami meminta Pak Hilmar untuk menjadi kurator bagi museum," kata Jro Suarya.

Hilmar Farid menambah sederatan tokoh ternama yang telah menjadi kurator tetap museum. Nama-nama tersebut seperti Ida I Dewa Gede Catra, Sugi Lanus, Ketut Artana, termasuk kurator Museum Leiden Belanda Hedi Hinzler.

Ke depan, Nengah berharap Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban menjadi rujukan bagi generasi yang ingin mempelajari warisan leluhur.  Bersama pemerintah daerah, museum ini bahkan akan menginisiasi Jambore Bahasa Bali yang melibatkan peserta dan para penyuluh Bahasa Bali pada Desember mendatang. Nyaris seribu orang yang mendaftar namun pengelola hanya menerima 500 penyuluh karena keterbatasan tempat.

Perbaikan museum seperti penyimpanan, pendataan, dan alih naskah ke dalam tulisan yang lebih dipahami terus dilakukan oleh Museum Pustaka Lontar.  Misalnya kedatangan akademisi dari Universitas Melbourne Australia  yang saling bertukar ilmu mengenai penyimpanan benda-benda bersejarah. Kotak kertas basa yang dirancang kampus ini diyakini mampu menahan bakteri maupun rayap agar tak merusak lontar.

"Kami membuka peluang bagi akademisi atau pihak yang ingin membantu museum dalam bentuk apapun, terutama perluasan museum dan pendataan naskah," ujar Nengah.**


Komentar
--> -->