Untuk menindaklanjuti arahan presiden terkait penyelarasan berbagai program kementerian bagi desa dan mengefektifkan pemanfaatan Dana Desa (DD), pada Desember 2017, empat menteri mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penyelarasan dan Penguatan Kebijakan Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 6/2014 Tentang Desa. Salah satu kebijakan dalam SKB tersebut adalah penggunaan DD untuk pembangunan dilaksanakan secara Padat Karya Tunai di Desa (PKTD) untuk mengurangi angka kemiskinan, pengangguran, dan stunting di desa.
PKTD menjadi dilemma bagi desa karena di satu sisi, ia mendorong pemerintah desa (pemdes) untuk menjalankan pembangunan secara inklusif dengan melibatkan banyak warga marginal, khususnya warga miskin, penganggur, dan warga yang memiliki balita stunting. Namun di sisi lain, beberapa ketentuannya ̶ dalam Petunjuk Teknis Penggunaan DD Tahun 2018 untuk Padat Karya Tunai ̶ menimbulkan permasalahan di desa.
Hasil studi ini dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Sumber data diperoleh dari studi literatur dan wawancara mendalam dengan beberapa informan pada April–Mei 2018 di 10 desa sampel (enam kabupaten) Studi Implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (September 2015–Desember 2018) yang dilaksanakan oleh The SMERU Research Institute.
Ada tiga temuan utama terkait pelaksanaan PKTD. Pertama, PKTD menimbulkan inefisiensi anggaran. Desa harus “bersiasat” untuk memenuhi ketentuan PKTD tentang minimum 30% DD kegiatan pembangunan yang digunakan untuk upah pekerja. Padahal, anggaran untuk upah pekerja biasanya tidak mencapai proporsi tersebut—hanya berkisar antara 15%–25% (Bachtiar et al., 2018). Artinya, ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran antara 5%–15%. Kedua, PKTD berpotensi menimbulkan masalah kualitas hasil pekerjaan karena sistem perekrutan tenaga kerja PKTD terbuka untuk semua posisi pekerjaan, baik tenaga kerja ahli, pembantu tenaga kerja ahli, maupun pekerja. Jika terdapat kekeliruan dalam proses perekrutan, kualitas hasil pekerjaan menjadi taruhannya. Ketiga, terjadi permasalahan data sasaran PKTD. Hal ini karena tidak ada acuan yang jelas dalam Juknis PKTD tentang kriteria sasaran PKTD, khususnya kriteria penganggur, setengah penganggur, dan warga yang memiliki balita penderita stunting. Ketiadaan acuan ini membuat pemdes khawatir bahwa penetapan sasaran PKTD memicu kecemburuan sosial di antara warga desa.
Beberapa rekomendasi agar PKTD dapat menjadi solusi bagi kesejahteraan masyarakat desa adalah sebagai berikut. Pertama, Pemerintah tidak perlu mematok anggaran minimal 30% dari DD Kegiatan Pembangunan untuk upah tenaga kerja. Namun, pemdes perlu terus didorong agar melaksanakan pembangunan dengan melibatkan banyak warga marginal sebagai tenaga kerja. Dengan demikian, desa bebas melaksanakan pembangunan sesuai kebutuhannya dengan tetap bersikap afirmatif. Kedua, ketentuan PKTD diberlakukan untuk posisi pekerja saja, sementara posisi tenaga kerja ahli dan pembantu tenaga kerja ahli diutamakan bagi warga desa yang memiliki keahlian/pengalaman, baik warga marginal maupun bukan. Dengan begitu, proses seleksi tenaga kerja bisa dipercepat dan kualitas pekerjaan tetap terjaga. Ketiga, Pemerintah melalui pendamping desa memfasilitasi pemdes melaksanakan musyawarah desa untuk mengidentifikasi dan menetapkan sasaran PKTD. Selain dapat meredam konflik di masyarakat, upaya ini juga dapat membangkitkan kesadaran dan kepedulian desa tentang pentingnya ketersediaan data sebagai dasar pelaksanaan pembangunan afirmatif di desa.