• Ratna Kusumaningrum
    Ratna Kusumaningrum
    Saya lahir dan besar di Kota Solo dan menyelesaikan pendidikan sarjana dan master di Universitas Diponegoro Semarang pada bidang pengembangan wilayah dan kota. Sudah lima tahun ini bekerja di Bappenas sebagai staf analis dan mulai tertarik dengan isu-isu pengembangan kewirausahaan sosial sejak bersama-sama menginisiasi pengembangan Solar Chapter di tahun 2017.
Papers

Membangun Ekonomi Desa Bersama Solar Chapter

2019

Abstraksi

Indonesia merupakan negara yang besar dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 260 juta jiwa berdasarkan data hasil proyeksi Badan Pusat Statistik. Dengan jumlah warga negara yang begitu besar serta kondisi geografis yang beragam, Indonesia menghadapi berbagai masalah pembangunan. Dalam hal ini, pemerintah tentunya tidak berdiam diri saja, banyak program dan kegiatan dikembangkan untuk mengatasi berbagai permasalah pembangunan. Dalam upaya mencapai menyelesaikan berbagai isu pembangunan, pemerintah tidak selalu berjalan sendiri. Banyak pihak termasuk startup khususnya wirausaha sosial yang turut berpartisipasi dalam upaya mengatasi berbagai isu pembangunan baik sosial, ekonomi, lingkungan, maupun isu-isu sosial kemasyarakatan lainnya. Wirausaha sosial sendiri menurut Asian Development Bank (ADB) adalah sebuah bentuk kewirausahaan yang tidak terbatas pada struktur legal dengan bentuk yang beragam baik itu perusahaan, nirlaba, trust, atau entitas lainnya. Aktivitasnya sendiri menurut British Council menggunakan pendekatan bisnis untuk menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan dalam sebuah komunitas dimana keuntungan yang diperoleh kemudian diinvestasikan kembali kepada komunitas tersebut. Potensi kewirausahaan sosial Indonesia cukup besar, dimana terdapat kurang lebih 342.000 wirausaha sosial yang berkembang di Indonesia pada 2018 (British Council dan UNESCAP, 2018). Kewirausahaan sosial juga memiliki potensi besar untuk mendukung inklusifitas, menjadi alternatif lapangan pekerjaan masa depan, dan membawa perubahan-perubahan sosial. Kewirausahaan sosial juga membawa pemuda-pemuda Indonesia untuk berkontribusi dengan membawa ide-ide serta inovasi dan solusi baru pada berbagai permasalahan sosial dan lingkungan. Salah satunya adalah Solar Chapter, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Amerika yang dibentuk karena rasa kepedulian pendirinya terhadap kondisi masyarakat pedesaan di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada tahun 2017 dan secara legal didaftarkan sebagai Non-Profit Organization pada tahun 2018 di Amerika. Pendirinya, telah memiliki ide untuk membangun sebuah inisiatif sosial sejak lama. Namun, kurangnya pengetahuan serta informasi membuat prosesnya terhambat dan terhenti cukup lama. Hal ini tentunya sangat merugikan, tidak hanya bagi Solar Chapter namun juga masyarakat luas yang merasakan dampak kegiatannya. Mungkin tidak hanya anggota Solar Chapter, banyak pemuda-pemuda lain yang memiliki ide besar terhambat oleh pengetahuan dan informasi karena berdasarkan data British Council sebanyak 68% pendiri kewirausahaan sosial berada pada rentan usia 18-34 tahun. Pada awal berdirinya di tahun 2017, Solar Chapter tidak memiliki jaringan dan pengetahuan terkait pengembangan bisnis maupun kelembagaan. Baru kemudian, melalui sebuah pertemuan singkat dengan pimpinan kementerian/lembaga Pemerintah Indonesia, mimpi tersebut dapat terwujud dan menjadi pintu masuk kerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya. Modal awal pelaksanaan proyek percontohan Solar Chapter dilakukan melalui pengumpulan dana melalui jaringan dan promosi serta pengumpulan dana melalui platform pengumpulan dana yang populer di Indonesia yaitu kitabisa.com. Dari keseluruhan dana yang dibutuhkan sebanyak 44,9% diantaranya berasal dari pengumpulan dana hasil promosi di Kitabisa, sedangkan sisanya sebanyak 38,4% berasal dari CSR perusahaan swasta, dan 16,7% berasal dari kegiatan dana usaha lainnya. Dalam hal ini Solar Chapter masih bergantung pada pendanaan dari donatur. Dari sisi kelembagaan, Solar Chapter memilih untuk membangun badan hukum organisasi non-profit di Amerika karena proses pendaftarannya di Indonesia tergolong cukup rumit. Selain juga karena sebagian besar dari anggotanya bekerja dan belajar di Amerika yang mengakibatkan akses informasi dan proses pendaftaran menjadi semakin sulit. Dalam pelaksanaan implementasi proyek pada dua tahun ini, Solar Chapter bekerja secara impromptu tanpa mengandalkan pelatihan maupun pendampingan khusus dari lembaga manapun dan jaringan kemitraan yang terbatas. Oleh karena itu, pelaksanaanya pun tidak dapat selalu berjalan sesuai dengan harapan. Kondisi ini mungkin tidak hanya dihadapi oleh Solar Chapter saja namun juga inisiatif sosial lainnya. Pada tahun 2018, ketika Solar Chapter menyelesaikan proyek pertamanya dan mampu menyediakan akses air bersih yang lebih dekat kepada lebih dari 480 penduduk Desa Umutnana di Nusa Tenggara Timur, muncul ide untuk memanfaatkan waktu yang sebelumnya digunakan masyarakat untuk mengambil air ke lembah yang mencapai kurang lebih dua jam setiap harinya. Oleh karena itu, melalui sebuah inisiatif bernama “kain makna”, Solar Chapter tengah berupaya mendorong ekonomi masyarakat pedesaan melalui pemasaran produk kriya berupa kain tenun. Hingga saat ini pemasarannya dilakukan secara online. Penjualan online dilakukan melalui Instagram, sedangkan penjual offlinenya dilakukan dengan menitipkannya sebuah tempat makan di Bandung dan menjualnya langsung di berbagai pameran. Namun kembali lagi karena kurangnya pengetahuan, informasi, dan modal, inisiatif ini sampai sekarang masih menghadapi berbagai kendala. Melihat kondisi di atas terdapat beberapa isu yang dapat diidentifikasi dari upaya pengembangan sebuah entitas wirausaha sosial. Isu pertama terkait dengan akses informasi dan pengetahuan yang sulit didapat, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki jaringan di pemerintahan maupun masyarakat yang tinggal di luar Indonesia. Banyak wirausaha sosial sendiri saat ini juga belum memiliki akses pada kegiatan pendampingan maupun pelatihan tidak hanya dari pemerintah namun juga enabler swasta. Hal ini dikarenakan informasi serta jumlah pelatihan dan pendampingan khusus bagi wirausaha sosial yang belum begitu banyak. Isu yang kedua adalah kondisi legalitas kelembagaan wirausaha sosial yang saat ini belum sesuai dan memberikan fleksibilitas bagi wirausaha sosial. Selain itu prosesnya yang panjang dan sulitnya memperoleh informasi membuat banyak entitas kewirausahaan sosial lebih memilih mendaftarkan izin organisasinya di luar negeri. Selanjutnya isu pengembangannya terkait dengan akses permodalan. Di Indonesia, pada dasarnya telah banyak bermunculan lembaga-lembaga yang bergerak pada impact investment, namun informasinya tidak mudah didapatkan dan hanya orang-orang dari kalangan tertentu yang mengetahui dan dapat mengaksesnya. Hal ini memerlukan perhatian khusus, karena potensi dan antusiasme pemuda Indonesia untuk memberi ke masyarakat tergolong besar terlihat dari banyak tumbuhnya perusahaan startup baik yang bergerak murni di bisnis maupun sosial. Antusiasme ini sangat terasa khususnya di Solar Chapter, dilihat dari banyaknya pemuda yang ingin bergabung dan menawarkan ide-ide baru. Inisiatif-iniaitif positif seperti ini tentunya harus terus didukung dengan kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran dan juga inovatif. Dengan ekosistem dan dukungan yang tepat maka model pengembangan kewirausahaan khususnya sosial dapat menjadi alternatif lapangan kerja baru bagu generasi milenial. Segala bentuk isu yang muncul tersebut secara mendasar dipengaruhi oleh akses informasi yang kurang mumpuni. Oleh karena itu apabila terdapat kebijakan maupun program yang mempermudah akses informasi dan koordinasi yang lebih efisien seperti pembentukan platform atau dashboard online tentu akan ada lebih banyak orang khususnya pemuda yang terinspirasi. Hal ini tentunya juga harus didukung dengan payung hukum yang kuat dan program-program yang dirancang khusus bagi pengembangan kewirausahaan sosial seperti inkubasi bisnis sosial untuk mendorong lebih banyak inisiatif terealisasi.

Komentar
--> -->