Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa dalam kurun waktu terakhir, ada sekitar 40.000 angkatan kerja yang berhasil lepas dari jeratan pengangguran. Namun, kenaikan lapangan kerja tidak sebanyak angkatan kerja yang mendapat pekerjaan, lantas apa penyebab lain berkurangnya pengangguran muda? Ya, fenomena Gig Economy. Sudah tidak asing lagi, fenomena ini menyelimuti pasar tenaga kerja Indonesia. Gig economy menjadi model bisnis baru yang mulai dilirik di Indonesia. Kehadiran gig economy ini seiring dengan hadirnya industri 4.0 yang menekankan efisiensi dan efektivitas melalui kehadiran teknologi. Gig Economy merujuk pada istilah maraknya pekerja freelance, atau staf yang direkrut untuk proyek-proyek jangka pendek, atau pada saat dibutuhkan saja atau biasa disebut on-demand worker alias buruh siap kerja. Gig economy tidak menjadi hal baru bagi negara-negara maju di era industri 4.0 ini. Namun di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, gig economy sedang mengalami pertumbuhan yang signifikan sehingga perusahaan besar mulai melihat sisi lain dari para gig workers. Data Bloomberg menyebutkan bahwa dari 127 juta masyarakat Indonesia yang bekerja, sepertiga dari mereka masuk pada kategori pekerja lepas yang bekerja kurang dari 35 jam per minggunya. Dari sepertiga angka itu, lebih dari 30 juta masyarakat Indonesia bekerja paruh waktu. Beberapa alasan on-demand bisa menjadi pilihan, selain karena kontrak tidak terikat, perusahaan juga bisa mendapatkan pekerja profesional yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan saat itu. Meski begitu, Vishal masih melihat banyak kekurangan dari pengaruh tren Gig Economy ini.
Melihat Peluang Gig Economy cukup besar pengaruhnya dalam ikut menanggulangi tingkat pengangguran, diperlukan adanya komersialisasi dari para gig workers itu tersendiri. Mengapa tidak secara alamiah saja? Karena, fenomena gig workers lama kelamaan akan mengalami titik turun, sehingga bila tidak diutilisasi secara maksimal, maka manfaatnya pun tidak bisa dirasakan secara optimal. Komersialisasi Gig Workers bisa dilakukan dengan berbagai metode, seperti platform online dan offline, sampai word to mouth dalam masyarakat. Sudah banyak platform mobile di Indonesia yang bergerak dalam bisnis penyedia jasa on-demand workers bagi perusahaan yang membutuhkan. Dalam setahun terakhir saja, jasa platform mobile ini menunjukkan peningkatan sebesar 26 persen dalam hal permintaan jasa on-demand worker. Komersialisasi yang dimaksudkan disini adalah membuat para gig workers ini menjadi booming di pasar tenaga kerja seluruh Indonesia dengan menerapkannya ke dalam konteks yang baru yaitu, pasar tenaga kerja lepas. Hal ini pula bisa didukung dengan kebijakan pemerintah yang mempermudah praktik gig workers dalam bekerja untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif. Bukan semata-mata hanya menjadi booming, namun ada implikasi khusus yang diharapkan akibat boomingnya para gig workers ini.
Implikasi terang yang diharapkan adalah, dengan latar belakang psikologis usia produktif di era sekarang, atau biasa disebut dengan millennial, punya 1 kecenderungan, dimana sangat pemilih dalam fleksibilitas kerja, atau tidak terikat, bisa menjadi angin segar tersendiri untuk pasar penawaran gig workers yang saat ini pula permintaannya juga banyak. Tercapainya titik keseimbangan baru antara permintaan dan penawaran gig workers, memunculkan suatu keuntungan baru yaitu menurunnya angka pengangguran yang didominasi anak muda. Lebih potensial lagi, menurunnya angka pengangguran akan mengakibatkan penurunan dependency ratio dan peningkatan pendapatan per kapita dalam jangka panjang.