Anak-anak Kampung Klayas yang membutuhkan fasilitas kesehatan dan pendidikan. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ed/pd/15
Anak-anak Kampung Klayas yang membutuhkan fasilitas kesehatan dan pendidikan. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ed/pd/15
Jika ada pepatah gantungkan cita-cita setinggi langit, maka anak-anak Papua hanya punya cita-cita sebagai PNS dan pemain sepak bola. Kini setelah internet masuk, impian mereka bersinar dari langit Timur.
“Waktu cita-cita saya berubah ingin menjadi penyanyi, orang tua sempat khawatir. Bisa hidup dari menyanyi atau tidak?” cerita Michael saat di gelar wicara Mari Cerita (Mace) Papua, akhir Februari 2019 lalu.
Ada dua pekerjaan yang menjadi cita-cita anak Papua: PNS dan menjadi pemain sepak bola. Penyanyi asal Jayapura, Papua, Michael Jakarimilena mengakui itupun menjadi cita-citanya dan anjuran orang tua sewaktu kecil. Alasannya, PNS mempunyai gaji tetap dan uang pensiun yang pasti. Sementara menjadi pemain sepak bola bisa mengangkat martabat orang Papua dan pengabdian kepada Tuhan.
Namun setelah ada internet masuk, kata Michael, anak-anak Papua mempunyai cita-cita yang lebih beragam. Mereka lebih kreatif dan percaya diri menunjukkan kemampuannya. Pekerjaan di sektor ekonomi kreatif banyak bermunculan, mulai dari menunjukkan bakat seni hingga menjual produk kerajinan asal Papua. Michael yakin kelak Papua akan menjadi pusat musik hip-hop di Indonesia.
Perubahan ini dibenarkan oleh aktivis sosial keturunan Papua, Lisa Duwury. Lisa mengatakan saat ini banyak anak muda Papua yang mau membuat usaha daring. Orientasi mereka sudah berubah dan lebih berani membuka lapangan kerja online.
Infrastruktur internet memang digalakkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) lewat program Palapa Ring. Jaringan internet di wilayah Indonesia Timur akan menyambung dengan area tengah dan barat pada pertengahan tahun ini. Berkat infrastruktur internet ini pula, anak muda Papua mulai membuat aplikasi online.
Perlu Pendidikan Vokasi Sesuai Kebutuhan
Pemerintah tengah gencar melakukan pembangunan infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat. Namun hal ini, menurut aktivis sosial Lisa Duwiry, perlu ditambah dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
“Warga perkotaan Papua memang senang dengan pembangunan, tapi warga pedalaman khawatir jika mereka tak bisa bersaing dengan masyarakat luar atau pendatang,” kata Lisa.
Kekhawatiran ini disebabkan karena mereka tidak mempunyai kemampuan cukup untuk bekerja. Karena itulah, Lisa menyarankan pemerintah melakukan pendidikan vokasi lewat Balai Latihan Kerja yang mengajarkan keahlian sesuai kebutuhan di sana. Misalnya seperti pendidikan vokasi pengolahan ikan, pertukangan, dan lain sebagainya.
Selain itu, kata Lisa, pemerintah perlu fokus pada pendidikan dan kesehatan sebagai upaya peningkatan kapasitas anak-anak Papua. Papua masih mengalami kekurangan pengajar dan tenaga kesehatan karena jarang ada dokter dan guru yang mau bertugas di pedalaman.
Salah satu upaya mengatasi kebutuhan pendidikan, Lisa dan teman-temannya membuat gerakan penggalangan dana dengan nama #UntukKorowai dan #KalepinKorowai. Gerakan ini bertujuan membantu anak-anak Korowai bersekolah dengan cara membangun asrama dan sekolah, serta memberi gaji guru yang mau mengajar di pedalaman.
Pendidikan dan akses internet memang menjadi salah satu alat membuka peluang kerja inklusif di daerah-daerah tertinggal Indonesia. Peluang kerja inklusif bisa terwujud bila diiringi dengan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Gagasan kerja layak dan inklusif ini akan digalang lewat Indonesia Development Forum 2019.
IDF 2019 diinisasi oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan dukungan Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative. Forum internasional ini mengambil tema besar “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. Punya ide untuk menciptakan peluang kerja yang inklusif? Segera kirimkan Pengajuan Proposal ke IDF 2019!**